Entri Populer

Jumat, 07 Januari 2011

Kesulitan korban bencana erupsi merapi

Oke,...
Hari ini ada meeting yang membahas perlakuan khusus kredit para korban bencana erupsi merapi.

Aku membayangkan bila saja itu terjadi kepadaku....
Rumahku hancur terkena terjangan awan panas "wedhus gembel" trus aku dan keluarga harus mengungsi ke barak penampungan, eh ada nama kerennya lho "shelter" ...kayak busway aja ada shelternya. Shelter itu bisa terbuat dari tenda atau apapun pokoknya bisa dibentuk mirip murah trus ditinggali...kayaknya gitu ya...
Aku sendiri ga pernah dan ga berkeinginan tinggal di penampungan. Tapi sedikit membayangkan, tentunya disana sumpek, kotor, bau, panas....tapi harus tinggal disana...oh Tuhan.....

Selain rasa penat, tekadang lapar, lambat laun timbul kejenuhan dan muaranya adalah emosi, marah, sedih, dan mungkin depresi. Itu baru dipenampungan saja. Ga usah mikir harta, karena udah hilang.

Setelah  semuanya reda, merapi sudah jinak lagi,.....apa permasalahan selesai? oh, tidak....ini baru permulaan saja. Bayangin aja, disebelah ada seorang ibu yang sudah berumur sekitar 53 tahun 2 bulan, anaknya 1 cewek cantik tapi sayang udah tewas karena terkena si "wedhus gembel." Ibu ini sehari-hari berjualan sayur mayur keliling dari kampung ke kampung, suaminya udah meninggal semenjak anaknya masih berusia 5,5 tahun....Beliau tidak mau menikah lagi dengan tekad ingin membesarkan anaknya biar jadi orang pintar dan sukses. Apa daya, setelah anaknya tumbuh cantik menjadi mahasiswi pintar, justru harus meregang nyawa ketika menunggui rumahnya tatkala si ibu sedang berjualan. oke....bukan itu inti ceritanya.
 Tapi si ibu, mesti pulang kemana? Tinggal dengan siapa? Mau berjualan apa, siapa yang mau beli sementara hampir separoh warga di kampungnya tewas atau kalau masih hidup lebih memilih tinggal dengan saudara yang jauh dari kampung asalnya.
Tapi yang bikin lebih menyakitkan, si Ibu pernah berhutang kepada suatu bank untuk modal usahanya, ga besar sih cuman Rp. 3 juta. Setelah situasi bencana reda, si Ibu tetap ingin melanjutkan hidup dengan sisa-sisa kemampuan yang ada baik itu sisa uang, sisa harapan, dan sisa semangat.....eh....tiba-tiba ada seorang pemuda mendatangi si Ibu sambil bertanya bagaimana si Ibu mengembalikan cicilan hutangnya.........Huaaaaaa..........ternyata tukang tagih dari bank.

Tapi, untunglah pembuat kebijakan masih punya hati nurani. Di penghujung tahun, beberapa hari setelah bencana mereda, terbitlah sebuah ketentuan dari Penguasa Perbankan yang membolehkan si Ibu menunda membayar hingga 3 tahun ke depan.......

Aku yakin, bukan nasi bungkus lagi yang diharapkan oleh si Ibu, pertolongan seperti inilah yang diharapkan....si Ibu bisa memanfaatkan sisa umurnya untuk hidup dengan berjualan lagi dari awal hingga nantinya semua pengalaman ini bisa sedikit demi sedikit mulai dilupakan.

Aku yakin, dengan pengalaman cerita hidup seperti itu, si Ibu tidak butuh nasi bungkus terus menerus setiap hari dari para dermawan, tapi mengisi sisa umur dengan memperjuangkan hidupnya sendiri, itulah kebanggaannya hingga ajal menjemput.

Berita hebatnya lagi, si Ibu mungkin tidak perlu mencicil angsuran hutangnya dan dianggap lunas karena pemerintah akan menanggung kerugian kredit dari APBN. Tapi tentunya tidak serta merta semua pasti dihapuskan, perlu informasi dari bank, mana debitur  yang memang layak dihapuskan kreditnya. Jangan sampai para debitur nakal yang memang dari awal tidak beritikad baik, memanfaatkan momentum ini untuk tidak mau bayar kredit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar